Kemarin, 31 Juli 2014, aku, adikku dan temanku explore tempat baru yang belum pernah
kami kunjungi tentunya. Orang-orang bilang namanya Umbul Beton. Yang namanya
umbul tentunya berhubungan dengan air. ‘Umbul’ berarti mata air atau sumber
air. Kalo nama ‘beton’ sendiri, kemungkinan sih dari umbul-nya yang
sekelilingnya dibangun beton-beton bersemen. Itu sih tafsiranku. Well, paling
gak make sense lah. Temanku bilang kalau tempat ini masih alami
belum di komersialkan. Wah, boleh juga dicoba. Aku pikir kalau masih alami dan
belum banyak orang yang tahu, kemungkinan gak banyak orang yang datang. Maklum,
kali ini kan musim liburan Lebaran Raya, semua bentuk wisata apapun pasti diserbu
warga. Gak enak banget kan kalau niatnya pingin nikmatin suasana wisata tapi
malah bete karena saking berjubelnya
orang.
Kami berangkat dari rumah, Gondang Winangun Klaten, jam
10.30 ke Wonosari Gunung Kidul. Hanya berbekal info teman dari temanku dan penunjuk
jalan. Lewatin Wedi, Bayat, Karangmojo dan akhirnya sampe ke tengah kota
Wonosari sekitar jam 12.00. Kami berhenti untuk telfon temen dari temenku,
tanya arah selanjutnya. Ehh ternyata, mas-nya mutusin untuk jemput kami dan
antar kami ke Umbul Beton. Baiknya mas Daliphok ini, begitu nama yang dia
ucapin waktu kenalan sama aku. Hmm, gak heran kalau aneh namanya, ternyata
Daliphok adalah nama panggung. Salah satu komedian Jogja ternyata. Lelaki paruh
baya yang bernama asli Yusuf ini, memang keliatan kalau selalu ceria. Tubuhnya
yang gempal mengendarai honda astrea-nya yang cukup tua (sama tuanya dengan
yang aku pakai, hehe) dan membonceng anak laki-lakinya, mereka menjadi tour guide lokal kami. Ramah, ceria, dan
sederhana, bentuk local hospitality
yang mungkin gak di dapat di kota-kota.
Dari tengah kota Wonosari, ternyata kita balik lagi ke arah
Karangmojo, lalu ke arah Semin, tepatnya ke kecamatan Ponjong. Lumayan jauh
sih, ada sekitar 10 kilo, mungkin lebih (Grr, paling susah kalau disuruh
estimate jarak, huft!). Berhubung dari
Wonosari ke Ponjong lewat jalan alternatif, di pertigaan jalan utama, mas
Daliphok berhenti sejenak dan nerangin ke kita, kalau nanti pas balik gak perlu
repot-repot ke Wonosari lagi, tapi bisa langsung lewati jalan utama Ponjong ke
perempatan Karangmojo terus ke arah Klaten dehh. Tambah lagi
level kebaikan mas Daliphok-nya,
cringgggg, haha. Luckily, kami punya mas Daliphok, benar saja sepanjang jalan
gak ada yang namanya penunjuk bertuliskan Umbul Beton. Jadi yang gak ada
tour guide rajin-rajin tanya
local GPS ya
a.k.a warga lokal. Itu senjata paling ampuh buat nemuin tempat
tujuan.
|
Nyebrang Dam Simo |
|
Dam Simo sisi kanan |
Akhirnya sampai juga ke Umbul Betonya, Yipiiiiyyy. Yang
pertama kali aku lihat memang air, dikelilingi perbukitan, masih lumayan alami,
dan memang gak terlalu ramai, tapi kok semacam waduk kecil ya, atau semacan
dam. Umbul-nya mana? Dam ini mungkin ya yang dinamakan umbul. Tapi
kok jadi pengalihan makna gini. Ya sudah lah. Dam sebelah kanan dimanfaatkan
warga yang hobi mancing buat nyalurin hobinya disini. Cukup nyaman sih
tempatnya, sekililing dam di tanemin semacan pohon cemara. Jadi cukup rindang
buat nongkrong mantengin ikan yang nyangkut di mata kail. Terus dam disebelah
kiri dipakai buat wisata kapal kayuh dari bentuk angsa sampai hiu. Cuman Rp. 6.000,-
untuk 2 orang 2 kali putar. Well,
cukup lah buat megelin kaki karena ngayuh. Yang disayangkan disini, sebenerya
ada life jacket yang disediain buat
para wisatawan, tapi aku lihat gak ada satu wisatawan pun yang mau pakai. Sudah
pada jago renang kali ya, yang belum bisa renang, kalau tenggelem bisa nanya
ikan-ikan di dalam gimana cara renang, kalau perlu ambil short course sama itu ikan-ikan (kata mas Daliphok, haha).
Mas Daliphok juga
kasih tau kami kalau yang menarik disini gak hanya wisata air nya. Dibalik
bukit ada Goa Lowo alias Goa Kelelawar yang konon katanya ada air gemericik di
dalamnya. Woaa,
let’s explore!!! Tapi
sayang mas Daliphok gak bisa gabung bareng kami. Dia cuman nganter dan balik
pulang, gak lupa di suruh mampir ke rumahnya (naik satu tingkat lagi
level kebaikanya, criingg). Setelah
pamitan langsung deh kami lanjutin petualangan. Kalau pingin ke Goa Lowo harus
nglewatin tengah dam itu. Sebenernya sih itu jalan yang dibangun ditengah
waduk, tapi entah jalanya yang ambles atau air damnya mulai meninggi genangin jalan.
Mau gak mau harus jalan kaki nyebrang nglewati air. Setelah titip motor di
salah satu rumah warga tepat didepan dam, kami pun lepas alas kaki dan gulung
celana jeans masing-masing siap bertemput
dengan air dan licinya bebatuan yang
suppose
to be jalan.
Well, It was quite fun.
Diliatin orang-orang yang ada disitu
(karena memang cuman kami bertiga yang aneh pakai acara nyebrang-nyebrang
segala) yang mungkin dalam hati mereka berkata
“Bocah-bocah kakean polah, arep podho ning endi kae”(“Anak-anak
kurang kerjaan, mau kemana lah mereka itu”) Haha.
|
Tanaman kacang-kacangan di lembah |
Setelah sebrangi dam, mendaki bukit, dan lewati lembah
(kedengarannya lebay sih, tapi begitu adanya), akhirnya sampai juga ke Goa Lowo.
Kira-kira jalan setengah kilo dari dam. Pemandangan di lembah-nya juga lumayan
indah, lagi-lagi perbukitan mengelilingi lembah seolah
abondaned garden yang terawat. Kenapa bilang begitu? Karena memang
di lembah itu ditanami kacang-kacangan (gak tau namanya) berbunga kuning terang, seolah seperti taman.
|
How small my brother was standing there. |
|
Goa Lowo |
Sampai juga ke goa. Mulut goa cukup besar, agak naik sedikit
untuk mencapai mulut goa. Dan woaaaa, ternyata ruang goa di dalamnya lebih luas
lagi. Ada tiga lobang besar di langit-langit goa, yang tentunya nambah nilai
estetika goa (Eitss bahasaku, qiqi) karena memang cahaya matahari dari luar
nembus ke dalam goa. Lagi-lagi ada yang disayangkan karena ulah manusia, di
beberapa langit-langit goa, dinodai sama coretan-coretan mengatas-namakan
kreatifitas yang tentunya salah tempat. ‘Budi loves Inem’ lah, nama-nama geng
atau komunitas mereka lah, macam-macam. Itu minor sih, yang lebih parah ada
lagi, goa dijadikan lahan tambang pospat, maklum goa memang dihuni banyak
kelelawar yang kotoranya memang bisa menyuburkan tanah. Pertama kami bingung
apa yang di tambang oleh mereka, karena memang kami gak melihat batu kapur,
marmer atau sejenisnya. Ternyata setelah ngobrol dengan
three old muskeeters nya desa tersebut a.k.a para sesepuh desa (setelah
selesi
explore dan sebelum kami
beranjak pulang kami istirahat dirumah warga tempat kami parkir motor) goa
tersebut memang diekploitasi tanah pospatnya dan gak jauh dari goa memang ada
pabrik pengolahan pupuk. Semakin kami masuk semakin miris keadaan nya. Kontur
tanah sudah gak karuan. Beberapa alat tambang manual dan beberapa bekas baju
dan celana pekerja tambang mengotori goa. Air yang diceritakan mas Daliphok sudah
keruh warnanya. Miris!
Satu sisi, memang pertambangan pospat di goa tersebut bisa
menjadi mata pencaharian warga sekitar. Tapi disisi lain, alam tidak seharusnya
dirusak dan diekploitasi besar-besaran seperti itu. Ini cuman pemikiranku sih,
seandainya goa itu dijaga seperti aslinya, dikelola dengan baik, tidak cukup
dengan baik saja tetapi juga harus dengan benar, dan di publikasi dengan tepat,
apa yang akan warga dapat dari hasil
tourism
jauh lebih besar darpada eksploitasi pertambangan pospat. Apalagi tidak hanya
Goa Lowo, tempat ini masih punya beberapa
attraction
yang lain, seperti dam untuk wisata airnya yang kami lewatin sebelumnya (nama
dari dam ini ternyata Dam Simo, hasil ngobrol dengan tiga sesepuh desa), ada
satu lagi, yaitu sumber mata airnya, ya tenyata memang ada yang namanya Umbul
Beton disana, disisi pojok sebelak kiri dam. Tempatnya memang agak tersembunyi,
kalau kami tidak ngobrol dengan
the old
three muskeeters mungkin kami juga ga tahu kalau itu yang namanya Umbul
Beton.
|
Adikku cuci muka di Umbul Beton |
Satu lagi, ternyata nama ‘beton’, bukan berarti bangunan
beton yang ada di sekeliling umbul seperti yang kami kira dan prediksi
sebelumnya. Nama beton berasal dari nama isi dari buah pohon Nangka (
three old musketeers bilangnya pohon
Kluwih, masih sodara sih sama Nangka) yang dulu banyak tumbuh disekitar umbul.
Waktu kami kesana sih sudah tidak ada pohon-pohon tersebut. Untuk sampai ke
umbul, kami harus lewatin warung yang dibangun di atas dam, terus susuri sisi
kiri dam, sampai ke pojok dam. Airnya bener-bener bening and segar, tapi
hati-hati kalau pingin nyebur buat ngrasain
fresh-nya
air umbul, mendingan pakai alas kakinya. Kami bertiga
ouching nahan lancip dan tajam-nya bebatuan yang memang jadi
karakter bebatuan padas di Gunung Kidul. Saking segernya air, kami gak
keberatan tuh ngrasain
extreme nature
reflexology, hehe.
Well, that’s it our
yesterday’s advanture. Keluar, nikamtin dunia, percaya deh alam selalu memberi
kejutan-kejutan kecil tak terduga untuk kita. Cao!