1 Agustus 2014

Dam Simo, Goa Lowo, dan Umbul Beton

Kemarin, 31 Juli 2014, aku, adikku dan temanku explore tempat baru yang belum pernah kami kunjungi tentunya. Orang-orang bilang namanya Umbul Beton. Yang namanya umbul tentunya berhubungan dengan air. ‘Umbul’ berarti mata air atau sumber air. Kalo nama ‘beton’ sendiri, kemungkinan sih dari umbul-nya yang sekelilingnya dibangun beton-beton bersemen. Itu sih tafsiranku. Well, paling gak make sense lah. Temanku bilang kalau tempat ini masih alami belum di komersialkan. Wah, boleh juga dicoba. Aku pikir kalau masih alami dan belum banyak orang yang tahu, kemungkinan gak banyak orang yang datang. Maklum, kali ini kan musim liburan Lebaran Raya, semua bentuk wisata apapun pasti diserbu warga. Gak enak banget kan kalau niatnya pingin nikmatin suasana wisata tapi malah bete karena saking berjubelnya orang.

Kami berangkat dari rumah, Gondang Winangun Klaten, jam 10.30 ke Wonosari Gunung Kidul. Hanya berbekal info teman dari temanku dan penunjuk jalan. Lewatin Wedi, Bayat, Karangmojo dan akhirnya sampe ke tengah kota Wonosari sekitar jam 12.00. Kami berhenti untuk telfon temen dari temenku, tanya arah selanjutnya. Ehh ternyata, mas-nya mutusin untuk jemput kami dan antar kami ke Umbul Beton. Baiknya mas Daliphok ini, begitu nama yang dia ucapin waktu kenalan sama aku. Hmm, gak heran kalau aneh namanya, ternyata Daliphok adalah nama panggung. Salah satu komedian Jogja ternyata. Lelaki paruh baya yang bernama asli Yusuf ini, memang keliatan kalau selalu ceria. Tubuhnya yang gempal mengendarai honda astrea-nya yang cukup tua (sama tuanya dengan yang aku pakai, hehe) dan membonceng anak laki-lakinya, mereka menjadi tour guide lokal kami. Ramah, ceria, dan sederhana, bentuk local hospitality yang mungkin gak di dapat di kota-kota.  

Dari tengah kota Wonosari, ternyata kita balik lagi ke arah Karangmojo, lalu ke arah Semin, tepatnya ke kecamatan Ponjong. Lumayan jauh sih, ada sekitar 10 kilo, mungkin lebih (Grr, paling susah kalau disuruh estimate jarak, huft!). Berhubung dari Wonosari ke Ponjong lewat jalan alternatif, di pertigaan jalan utama, mas Daliphok berhenti sejenak dan nerangin ke kita, kalau nanti pas balik gak perlu repot-repot ke Wonosari lagi, tapi bisa langsung lewati jalan utama Ponjong ke perempatan Karangmojo terus ke arah Klaten dehh. Tambah lagi level kebaikan mas Daliphok-nya, cringgggg, haha. Luckily, kami punya mas Daliphok, benar saja sepanjang jalan gak ada yang namanya penunjuk bertuliskan Umbul Beton. Jadi yang gak ada tour guide rajin-rajin tanya local GPS ya a.k.a warga lokal. Itu senjata paling ampuh buat nemuin tempat tujuan.
Nyebrang Dam Simo

Dam Simo sisi kanan

Akhirnya sampai juga ke Umbul Betonya, Yipiiiiyyy. Yang pertama kali aku lihat memang air, dikelilingi perbukitan, masih lumayan alami, dan memang gak terlalu ramai, tapi kok semacam waduk kecil ya, atau semacan dam.  Umbul-nya mana?  Dam ini mungkin ya yang dinamakan umbul. Tapi kok jadi pengalihan makna gini. Ya sudah lah. Dam sebelah kanan dimanfaatkan warga yang hobi mancing buat nyalurin hobinya disini. Cukup nyaman sih tempatnya, sekililing dam di tanemin semacan pohon cemara. Jadi cukup rindang buat nongkrong mantengin ikan yang nyangkut di mata kail. Terus dam disebelah kiri dipakai buat wisata kapal kayuh dari bentuk angsa sampai hiu. Cuman Rp. 6.000,- untuk 2 orang 2 kali putar. Well, cukup lah buat megelin kaki karena ngayuh. Yang disayangkan disini, sebenerya ada life jacket yang disediain buat para wisatawan, tapi aku lihat gak ada satu wisatawan pun yang mau pakai. Sudah pada jago renang kali ya, yang belum bisa renang, kalau tenggelem bisa nanya ikan-ikan di dalam gimana cara renang, kalau perlu ambil short course sama itu ikan-ikan (kata mas Daliphok, haha).

Mas Daliphok juga kasih tau kami kalau yang menarik disini gak hanya wisata air nya. Dibalik bukit ada Goa Lowo alias Goa Kelelawar yang konon katanya ada air gemericik di dalamnya. Woaa, let’s explore!!! Tapi sayang mas Daliphok gak bisa gabung bareng kami. Dia cuman nganter dan balik pulang, gak lupa di suruh mampir ke rumahnya (naik satu tingkat lagi level kebaikanya, criingg). Setelah pamitan langsung deh kami lanjutin petualangan. Kalau pingin ke Goa Lowo harus nglewatin tengah dam itu. Sebenernya sih itu jalan yang dibangun ditengah waduk, tapi entah jalanya yang ambles atau air damnya mulai meninggi genangin jalan. Mau gak mau harus jalan kaki nyebrang nglewati air. Setelah titip motor di salah satu rumah warga tepat didepan dam, kami pun lepas alas kaki dan gulung celana jeans masing-masing  siap bertemput dengan air dan licinya bebatuan yang suppose to be jalan. Well, It was quite fun. Diliatin orang-orang  yang ada disitu (karena memang cuman kami bertiga yang aneh pakai acara nyebrang-nyebrang segala) yang mungkin dalam hati mereka berkata “Bocah-bocah kakean polah, arep podho ning endi kae”(“Anak-anak kurang kerjaan, mau kemana lah mereka itu”) Haha.

Tanaman kacang-kacangan di lembah
Setelah sebrangi dam, mendaki bukit, dan lewati lembah (kedengarannya lebay sih, tapi begitu adanya), akhirnya sampai juga ke Goa Lowo. Kira-kira jalan setengah kilo dari dam. Pemandangan di lembah-nya juga lumayan indah, lagi-lagi perbukitan mengelilingi lembah seolah abondaned garden yang terawat. Kenapa bilang begitu? Karena memang di lembah itu ditanami kacang-kacangan (gak tau namanya) berbunga  kuning terang, seolah seperti taman.

How small my brother was standing there.

Goa Lowo
Sampai juga ke goa. Mulut goa cukup besar, agak naik sedikit untuk mencapai mulut goa. Dan woaaaa, ternyata ruang goa di dalamnya lebih luas lagi. Ada tiga lobang besar di langit-langit goa, yang tentunya nambah nilai estetika goa (Eitss bahasaku, qiqi) karena memang cahaya matahari dari luar nembus ke dalam goa. Lagi-lagi ada yang disayangkan karena ulah manusia, di beberapa langit-langit goa, dinodai sama coretan-coretan mengatas-namakan kreatifitas yang tentunya salah tempat. ‘Budi loves Inem’ lah, nama-nama geng atau komunitas mereka lah, macam-macam. Itu minor sih, yang lebih parah ada lagi, goa dijadikan lahan tambang pospat, maklum goa memang dihuni banyak kelelawar yang kotoranya memang bisa menyuburkan tanah. Pertama kami bingung apa yang di tambang oleh mereka, karena memang kami gak melihat batu kapur, marmer atau sejenisnya. Ternyata setelah ngobrol dengan three old muskeeters nya desa tersebut a.k.a para sesepuh desa (setelah selesi explore dan sebelum kami beranjak pulang kami istirahat dirumah warga tempat kami parkir motor) goa tersebut memang diekploitasi tanah pospatnya dan gak jauh dari goa memang ada pabrik pengolahan pupuk. Semakin kami masuk semakin miris keadaan nya. Kontur tanah sudah gak karuan. Beberapa alat tambang manual dan beberapa bekas baju dan celana pekerja tambang mengotori goa. Air yang diceritakan mas Daliphok sudah keruh warnanya. Miris!

Satu sisi, memang pertambangan pospat di goa tersebut bisa menjadi mata pencaharian warga sekitar. Tapi disisi lain, alam tidak seharusnya dirusak dan diekploitasi besar-besaran seperti itu. Ini cuman pemikiranku sih, seandainya goa itu dijaga seperti aslinya, dikelola dengan baik, tidak cukup dengan baik saja tetapi juga harus dengan benar, dan di publikasi dengan tepat, apa yang akan warga dapat dari hasil tourism jauh lebih besar darpada eksploitasi pertambangan pospat. Apalagi tidak hanya Goa Lowo, tempat ini masih punya beberapa attraction yang lain, seperti dam untuk wisata airnya yang kami lewatin sebelumnya (nama dari dam ini ternyata Dam Simo, hasil ngobrol dengan tiga sesepuh desa), ada satu lagi, yaitu sumber mata airnya, ya tenyata memang ada yang namanya Umbul Beton disana, disisi pojok sebelak kiri dam. Tempatnya memang agak tersembunyi, kalau kami tidak ngobrol dengan the old three muskeeters mungkin kami juga ga tahu kalau itu yang namanya Umbul Beton.

Adikku cuci muka di Umbul Beton
Satu lagi, ternyata nama ‘beton’, bukan berarti bangunan beton yang ada di sekeliling umbul seperti yang kami kira dan prediksi sebelumnya. Nama beton berasal dari nama isi dari buah pohon Nangka (three old musketeers bilangnya pohon Kluwih, masih sodara sih sama Nangka) yang dulu banyak tumbuh disekitar umbul. Waktu kami kesana sih sudah tidak ada pohon-pohon tersebut. Untuk sampai ke umbul, kami harus lewatin warung yang dibangun di atas dam, terus susuri sisi kiri dam, sampai ke pojok dam. Airnya bener-bener bening and segar, tapi hati-hati kalau pingin nyebur buat ngrasain fresh-nya air umbul, mendingan pakai alas kakinya. Kami bertiga ouching nahan lancip dan tajam-nya bebatuan yang memang jadi karakter bebatuan padas di Gunung Kidul. Saking segernya air, kami gak keberatan tuh ngrasain extreme nature reflexology, hehe.

Well, that’s it our yesterday’s advanture. Keluar, nikamtin dunia, percaya deh alam selalu memberi kejutan-kejutan kecil tak terduga untuk kita. Cao!