12 Januari 2014

Lebih Terhormat Ga Dapat Kursi

Masih ada kaitanya dengan bus dan liburan tahun baru dari artikel sebelumnya, artikel ini juga masih tentang perilaku orang-orang di kota-ku. Yang mungkin gambaran dari sebagian besar orang-orang di negeri tercinta ini. Pulang kerumah, Klaten, setelah mengantar teman dari bandara Adisucipto Jogja, masih ingat? Tentunya masih dengan bus antar kota yang semestinya sudah dipensiunkan. Tentunya juga masih dengan penumpang-penumpang yang berjubel didalamnya. Panas, bau keringat, asap rokok, dan jalanan ‘harta karun’. Kenapa jalan ‘harta karun’? Bukan karena banyak emas disana , tapi ratusan lubang nya saja, ya, lubang-lubang ini seperti bekas galian para pencari harta karun yang ga ditimbun lagi. Yang pernah lewat kota Klaten pasti tahu lah seperti apa. Jadi bisa bayangin kan kalau ga dapat kursi kaya apa? Dan kebetulan sekali, bus yang waktu itu aku naikin, aku raba-raba atasnya buat cari pegangannya, tapi? Tet Tot!! Raib!! Ga ada pegangan!! Lalu dimana hak-ku sebagai penumpang yang berdiri agar tidak jatuh? Terpaksa harus pegangan sandaran kursi dikanan dan dikiri dan jeli-jeliin mata agar ga salah pegang kepala orang.

Masih ingat juga kan kalau luckily aku dapat kursi disamping two lovers yang buang sampah sembarangan di artikel sebelumnya? Ya tapi cuman bentar saja. Kenapa? Karena sesaat setelah kasus sarkasme dengan lovers itu, aku lihat seorang ibu menggandeng dua gadis kecilnya naik bus dengan susah payah. Menjaga keseimbangan dirinya sendiri dan dua gadis kecilnya, berjalan ketengah berdesak-desakan diantara penumpang lain yang berdiri, tengak-tengok, mungkin berharap ada kursi kosong. ‘Ya ga bakal ada bu’ batinku. Kebetulan aku duduk di bagian tepi bukan dekat jendela. Tanpa pikir panjang aku persilahkan dia duduk di kursi-ku. Wahhh, sik matur nuwun jiannnnn, melebihi dapet lotre si ibu itu. Aku balas senyum dan bilang ‘sama-sama bu’. Sayangnya si buah hati yang satunya ga bisa duduk, kursi hanya satu, ibu itu cukup berisi badannya, jadi hanya muat dia dan satu gadis kecilnya yang dipangku. Susah payah anak itu pegangan kuat-kuat sandaran kursi dan dibantu tangan ibunya. Two lovers yang disampingku tadi, penumpang di depan dan di belakang nya, mereka cukup muda, tapi, sama sekali ga ada yang ngasih kursi mereka. Shockingly, aku liat ternyata di bus bagian belakang, ada embah yang cukup renta dengan pakaian kebaya jowo kuthu baru dan jarik-nya yang juga berdiri diantara anak-anak muda yang duduk dengan santainya, beberapa dari mereka dengan enaknya sambil klepas-klepus merokok. Oh my Gosh!!!! Negeriku!

Banyak yang lihat aku dan ibu itu waktu aku ngasih kursi-ku. Mungkin mereka pikir bodoh sekali aku ini sudah enak-enak dapat kursi malah sok-sokan ngasih kursi-nya ke orang lain. Atau mungkin juga mereka pikir mereka sudah bayar, dapat kursi, ya kursi mereka. Kalau ngomongin soal hak, memang semua penumpang bayar, dan semua punya hak untuk dapat kursi. Tapi lihat keadaan. Buat aku, ibu dan embah itu punya hak lebih untuk dapat kursi dibanding aku, dan aku pantasnya memang berdiri. Begini saja! Bayangkan kita yang ada diposisi ibu dan embah itu, atau kalau ga, bayangkan mereka itu ibu atau nenek kita. Yang dibutuhkan adalah respect.

Lagi-lagi masalah attitude. Lagi-lagi soal kesadaran. Lagi-lagi diperlukan edukasi.

8 Januari 2014

Sampah! Pernah Sekolah?

Sore itu, sehabis mengantar beberapa teman di bandara Jogja untuk balik ke Jambi dan negeri Merlion, aku pulang ke rumah, Klaten. Aku putuskan untuk naik public transportation saja, karena aku pikir sayang ongkosnya kalau pakai taksi lagi kalau cuman sendiri. Jarang memang, karena biasanya aku naik motor kesehariannya. Dari bandara naik bus Trans Jogja turun di depan pasar Prambanan. Bus Rapid Transit ber-AC yang di-launched tahun 2008 ini (kalau tidah salah), kondisinya sudah ga begitu baik lagi. Masih sih ber-AC tapi ko ga dingin ya dan beberapa kursi tampak sudah rusak. Hmm, semoga cepat di-regenerasi ya.

Turun dari bus Trans Jogja, aku harus naik bus jurusan Jogja-Solo. Bus antar kota. Dari aku kecil sih belum pernah lihat bus ini cantik. Kalaupun ada luarnya lumayan, dalemnya ataupun mesinya menyedihkan, kreot! kreot! kreot! Hmm sedih memang. Setelah nunggu berdiri beberapa menit, ada salah satu dari gerombolan pengamen muda bilang, "Mbak, duduk aja dulu, masih lama ko datengnya." Aku senyumin dan bilang "oh iya" dan ga lupa terima kasih. Hmm, masih banyak orang baik ternyata, gumamku. Akhirnya bus datang. Keliatan dari jauh beberapa bagian cat bus-nya mengelupas, ternyata belum berubah! Bus mendekat, dan wowwww, aku liat di dalam bus sudah penuh sesak, desak-desakan berdiri. Maklum musim liburan Natal dan Tahun Baru-an. Tapi bus masih saja berhenti, kernet bus teriak, "Naik mas, mbak! Masih muat! Masih muat!" Gila tu kernet, mau bikin kita-kita jadi pepes di dalam? Dan hebatnya lagi, masih aja ada beberapa calon penumpang naik itu bus. Kalau aku, no way! Give up dech. Mending nunggu bus lainnya. Bus pun berlalu pelan dengan suara mesin-nya yang berat, kepenuhan!

Tiga bus selanjutnya, masih dengan kondisi yang sama. Dan akhirnya bus yang kelima, agak mendingan. Aku liat ada space di antara para penumpang yang berdiri. Jeeyyyy!!! Gapapa lah berdiri, yang penting ga kegencet-gencet. Selang beberapa menit, penumpang yang duduk disebelahku turun, nasib baik dapat kursi. Dua penumpang disebelahku cowok dan cewek. Ga bermaksud nguping, kayaknya si cowok ini habis ngajak ceweknya jalan-jalan dari Jogja. Pegangan tangan teros. Welah, so sweet!

Sesaat, ada penjual permen, mereka beli, akupun juga. Aku lihat si cowok buka bungkusan permenya buat si cewek. Wahh, aku masih salut tuh. Tapi kok, Werr! Werrr! Dengan santainya dia buang bekas bungkusan permen sembarangan di lantai bus. Ihhh, mulai dech 'ilfil'-nya. Aku berdehem, sengaja biar mereka notice. Aku buka bungkusan permenku dan sengaja agak aku angkat tinggi-tinggi. Aku makan permenya. Aku berdehem lagi aku taruh bekas bungkusan permen ke dalan tas-ku. Mereka sih kayaknya lihat. Si cowok buka lagi satu bungkus permenya, kayaknya sih buat dia sendiri. Berharap dia ga buang bungkus-nya sembarangan lagi. Tapi!!! Werrr! Weerrr! Huhuhu kok masih aja.

Geram rasanya. Akhirnya jurus kedua aku luncurkan. Aku tanya ke dia,
Aku: "Hmmm, ceweknya ya mas? Cantik. Habis jalan-jalan ya?"
Dia: "Iya mbak. Muter-muter Jogja tadi."
Aku: "Oww, mas-nya SEKOLAH?"
Dia: "Engga mbak, udah kerja."
Aku: "Owwwwww, GA SEKOLAH? PANTESAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN!"
Dia: (Diam seribu bahasa sambil ceweknya cubit-cubit ke dia).

Iya sih cuman bungkus permen, kecil, ga seberapa dibanding sampah-sampah lain. Bukan gede kecilnya sampah. Sampah ya sampah! Attitude salah harus dirubah. Sekecil apapun itu. Kalau engga kapan berubahnya ini negeri. Ingat sekali kata-kata teman-teman ku yang asalnya dari negara tentangga yang terkenal super bersih itu.

Bukanya perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil?  Kapan berubah negeri ini?