22 November 2014

Umbul Ponggok - Snorkelling ala Air Tawar

Umbul Ponggok - Klaten
Here we go again, our super short trip. Kali ini saya dan teman-teman berkunjung ke Umbul Ponggok, sebuah wisata air di desa Ponggok, kecamatan Polanharjo, Klaten Utara. Kami ke Umbul Ponggok pada hari Jum’at lalu tanggal 21 November 2014.

Berangkat dari rumah, sekitaran Pabrik Gula Gondang Winangun, kurang lebih jam 10 pagi, sampai tujuan sekitar jam 11 menjelang siang. Memakan waktu memang, karena kami tersesat beberapa kali dan harus tanya warga lokal. Walaupun notabene saya asli Klaten tetapi jarang main di sekitar kota sendiri. Agak tidak membanggakan memang, tetapi mau gimana lagi, kota-kota tetangga menawarkan situasi dan tata kota yang lebih nyaman dan asyik. Dibilang tidak bangga dengan kota sendiri? Jujur, memang! Mengapa? Maaf, lagi-lagi masalah aparat pemerintah kota yang menurut saya tidak bisa mengelola kota yang hanya sekecil ini.

Sudahlah! Kita kembali ke laptop!!! Singkat cerita, kami sudah tiba di Umbul Ponggok. Tempatnya yang tepat di tepi jalan dan cukup banyak kerumunan kendaraan, mobil dan motor pengunjung yang parkir di kanan kiri jalan, jadi cukup mudah untuk ditemukan. Pertama kali kami lihat sumber mata air lokal yang di komersialkan ini sempat kecewa. Bahkan kami pun sempat bertanya ke tukang parkir alternatif wisata air lain di Klaten, seperti Janti dan Cokro Tulung. Tetapi mas parkir tersebut meyakinkan kami untuk mencoba dulu. Katanya pemandangan bawah airnya bagus.

Akhirnya kami pun memutuskan untuk masuk, karena memang sudah sampai tujuan, sayang kalau pergi ke tujuan lain atau pulang lagi. Walaupun seharusnya sudah masuk musim hujan, tapi cuaca hari itu cukup terik. Kami pun memilih sisi kolam yang cukup rindang dibawah pepohonan Gayam diseberang kolam sebelah kiri. Kami juga sengaja memilih area yang belum ramai di tempati orang. Walapun hari itu hari Jum'at sudah ada beberapa pengunjung. Kata pak Sentot, penyedia jasa penyewaan alat snorkling, kalau hari Sabtu dan Minggu, Umbul Ponggok dipadati pengunjung.

Setelah dirasa mendapatkan tempat yang cukup nyaman, kami nego ke penyedia jasa penyewaan perklengkapan snorkelling. Kami pun setuju dengan harga yang ditawarkan. Harganya pun tidak terlalu mahal (untuk daftar harga sewa silakan cek dibawah). Satu temanku, Fety, main masuk air saja, anak ini memang yang paling pemberani di antara kami. Ga mau kalah sama Fety, setelah pemanasan sebentar saya pun nyusul dengan perlengakapan snorkelling yang cukup lengkap, jaket pelampung, kacamata dan snorkel, dan kaki katak, disusul teman-teman lain. “Sudah berasa Nadine Candrawinata dech semua”, kata salah satu teman saya, Vivi.

Ayo gek nyemplung - Umbul Pmggok

Airnya jernih - Umbul Ponggok
Fety, Vivi dan saya - Umbul Ponggok
Brrrrrrrrrrr, sekali nyemplung, gilaaaaa airnya dingin banget, padahal cuaca cukup terik. Sampai-sampai temenku, Icha baru kaki aja yang nyemplung, sesaat sudah menggigil.  Ahhh hajar saja. Kalau ga gerak memang semakin dingin jadinya.

Well, setelah ber-snorkelling ria, we feel so bad as we underestimate before. Ya walaupun ga sebagus Karimun Jawa, pemandangan bawah air tidak mengecewakan bagi kaum amatir seperti kami dengan adanya beberapa jenis ikan air tawar, seperti bawal dan koi dan bebatuan di dasar air. Menurut pak Sentot, penyedia jasa perlengkapan snorkelling, sebagian besar ikan-ikan tersebut sudah ada dari masa kecil beliau dan berenang sendiri dari hilir ke hulu sesuai naluri ikan menuju ke sumber mata air. Memang saja di hilir adalah pusat perkembang biakan. Untuk ikan koi yang berwarna-warni memang sengaja ditambahkan untuk keindahan umbul. Apa tidak amis? Jawabnya tidak sama sekali, karena memang dibawah kolam terdapat puluhan sumber mata air, terlihat waktu saya snorkelling, sumber-sembur mata air tersebut ikut menyemburkan pasir disekitarnya, bahkan ada yang sampai 2 atau 3 meter dari dasar air. Jadi bener-bener fresh airnya, karena airnya besirkulasi. Sebenarnya agak takut melihat pemandangan aneh seperti itu, tapi rasa penasaran mengalahkan.

Narsis bareng ikan - Umbul Ponggok
It's show time! - Umbul Ponggok

Fety, the brave one - Umbul Ponggok
Menurut informasi pak Sentot yang baik hati dan ramah, ketinggian air ga berkurang walau di musim kemarau. Namun memang kalau di waktu hujan deras, air buangan tidak bisa keluar dengan baik, karena  ketinggian air di hilir sama atau bahkan lebih tinggi, dan akhirnya ketinggian air di umbul bertambah.

Karena memang Umbul Ponggok berada di sekitaran pemikiman warga, jangan mengharapkan pemandangan yang Wahhh. Tapi beberapa pohon Gayam dan satu pohon Bibis yang terhitung cukup besar di sekitaraan Umbul Ponggok, sedikit mempercantik pemandangan sekitar. Untuk kebersihan, lumayanlah karena memang sesekali ada petugas yang membersihkan. Tetapi untuk toilet umum nya, mungkin harus disediakan tempat samapah per kamar mandinya. Hmm kesadaran pengujung masih kurang, masih banyak yang buang bungkus shampoo dan sabun mandi di lantai kamar mandi. Padahal di luar kamar mandi sudah disediakan tempat sampah. Bawa sampah sendiri bentar keluar kenapa sih, berasa bawa dosa kali ya, berat banget rasanya.

Hmmm, kalau ngomongin sampah ga kelar-kelar nanti, Yo uwis, kita bahas gimana cara menuju ke Umbul Ponggok saja. Ga ada sama sekali public transportasi kesini, jadi bawa kendaraan pribadi ya. Untuk arahnya? Nich saya kasih!

Arah ke Umbul Ponggok

Jalan menuju Umbul Ponggok cukup mudah. Jalannya pun keadaannya beraspal bagus. Dari arah GOR (Gedung Olah Raga) Gelarsena Kota Klaten lurus ke arah utara ikuti jalan lokal Karanganom-Polanharjo. Dari arah Yogyakarta – Klaten, GOR Gelarsena ada disebelah kiri jalan, sedangkan dari arah Surakarta-Klaten, GOR ada disebelah kanan jalan. Kira-kira 12 kilometer dari GOR, Umbul Ponggok tepat di tepi jalan sebelah kiri. Tempatnya cukup mudah terlihat dengan tulisan Umbul Ponggok di dinding pembatas tepi jalan dan pohon Bibis yang cukup tinggi. Kolam sumber airnya pun jelas terlihat dari jalan raya.

Berikut Google Maps dari GOR Gelarsena Klaten ke Umbul Ponggok

Google Maps dari GOR Gelarsena Klaten ke Umbul Ponggok
Tampilan Google Maps ke Umbul Ponggok yang lebih luas

HTM dan Harga Sewa Perlengkapan Snorkelling

Berikut daftar harga tiket masuk dan harga sewa perlengkapan snorkelling yang penggunaanya selama yang kamu mau, alias sak jelehmu, alias tidak dibatasi waktu sewa. Harga-harga tersebut berlaku sama di semua penyedia jasa persewaan, karena memang sudah di musyarahkan dan ditetapkan oleh kelompok masyarakat desa. Dan untuk HTM tidak berubah walaupun di akhir pekan (sabtu dam minggu).

Pak Sentot, penyedia jasa penyewaan alat snorkelling - Umbul Ponggok
Harga Tiket Masuk                         : RP. 5.000,-
Sewa Jaket Pelampung                   : Rp. 5.000,-
Sewa Kaki Katak                            : Rp. 5.000,-
Sewa Kacamata & Snorkel             : Rp. 10.000,-
Sewa Sarung Hp Anti Air               : Rp. 15.000,-
Sewa Kamera Bawah Air               : Rp. 60.000,- (per ½ jam), atau Rp. 100.000,- (untuk 1 jam)

Harga sewa Kamera Underwater sudah termasuk operator photo-nya. Oh iya, jangan lupa bawa flashdick ya  untuk simpan photo-photo cantik bawah airnya.

Sat lagi, untuk yang habis berenag kelaparan and kedinginan, disana banyak warung jajanan yang dikelola warga sekitar, dari soto sampai gorengan, dari mie goreng telur sampai pop mie, dari yang hangat saja samapi zupah hot, ada! Harga super duper terjangkau kog.

Well, that’s it for Umbul Ponggok article. Tunggu artikel-artikel lainya ya. Satu pesan saya. RESPECT NATURE!!!!!

23 Oktober 2014

Kalibiru dan Waduk Sremo Kulon Progo

Akhirnya, balik ke Klaten lagi setelah beberapa bulan di Pandaan, Jawa Timur. Sudah beberapa hari bolak-balik Klaten-Jogja membahas project kecil saya bersama beberapa teman, tapi banyak main-nya sih. Sering pulang malam, tak jarang juga stay over di kontrakan temen. Pagi itu, 19 September 2014, mentari menyapa, saatnya buka mata. Dua anak manusia, saya dan teman saya, yang punya pemikiran yang sama “Mbolang” alias “It’s an advanture time”. Sebagai bentuk hadiah untuk diri sendiri, mengapa tidak? Tapi kemana? Terpikir satu photo keren temen yang di upload di salah satu media sosial dengan gaya bergelantungan diatas ketinggian yang ga ketulungan dan tertulis nama Kalibiru. Tanpa pikir panjang dan memutuskan “trabas!”.

We have no idea where Kalibiru is? And what water is that as the background of the picture? Berbekal googling search, googling map, dan GPS, kami berangkat. Saya ketik Kalibiru di pencarian google map di hand-phone saya, dan disana sudah ada pilihan paling atas “Wisata Alam Hutan Kemasyarakatan Kalibiru”. Sepertinya tempat ini memang baru menjadi incaran. Tak sabar rasanya. Teman-teman satu kontrakan dari Kangean yang tadinya akan berangkat ke candi Prambanan pun menunda rencana sebelumnya dan ikut bergabung bersama kami.

Teman saya, Vivi dan saya

Arah ke Kalibiru dari Yogyakarta

Akirnya kami bertujuh berangkat dari kontrakan kami, Condong Catur Yogyakarta ke Kalibiru Kulonprogo. Kami mengambil arah Ringroad Utara, bukan arah tengah kota yang sebenarnya lebih dekat karena kami menghindari aktifitas lalu lintas yang kemungkinan lebih padat.  Berikut jalur yang kami lalui:

Jalan Affandi (Gejayan) – Ring Road Utara – Jalan Wates/Purworejo – Terminal Wates ke kanan – Pertigaan pertama setelah mini market WS ke kiri – Setelah palang kereta api ke kiri – Ikuti jalur beraspal – Pertigaan belok kiri (Penunjuk arah ke Waduk Sremo) – Pertigaan tugu kecil ke kanan (bukan ke kiri kearah waduk Sremo) – Setelah jembatah belok kiri turunan (Penunjuk arah warna biru tidak terlalu besar ke Kalibiru) – ikuti penunjuk arah ke Kalibiru di  jalur aspal kecil tersebut  - Kalibiru

Tampilan Google Map ke Kalibiru
Selain melalui jalan tengah kota Yogyakarta dan Ringroad Utara, kamu bisa juga bisa ambil jalan Ringroad Selatan, terutama kamu yang dari arah Gunung kidul, Bantul, Kasihan, dan Banguntapan.

Medan Jalan ke Kalibiru

Medan jalan dari Yogyakarta ke Kalibiru tidak begitu berat. Malah bisa dibilang mulus-mulus saja. Hanya saja nanti kalau sudah mendekati area wisata, yaitu sehabis jembatan belok ke kiri dan ada turunan (setelah penunjuk jalan Kalibiru) medan mulai naik turun. Disarankan pengemudi yang sudah mahir yang menyetir. Tanjakan lumayan tinggi, dan turunan lumayan curam khusunya arah balik atau ke arah waduk sremonya. Tidak begitu panjang medan krusialnya sih, tapi rem harus bener-bener cakram. Safety first berohh!

Harga Tiket Masuk Wisata Kalibiru

Karena wisata Kalibiru masih dikelola secara swadaya dan swakarya oleh kelompok masyarakat setempat, HTM wisata Kalibiru masih tergolong murah, hanya Rp. 3.000,- saja. HTM segitu bukan murah lagi namanya, tetapi murah banget kalau dibandingin dengan pemandangan yang disuguhkan. Wow, itu benar-benar luar biasa. Untuk wahana flying fox dan jembatan gantung di hargai Rp. 25.000,-. Sedangkan untuk naik ke papan kayu diatas pohon saja yang menjadi spot favorite untuk ambil photo dengan background waduk Sremo cukup merogoh gocek Rp. 10.000,-. Oh iya satu lagi, sisain duit buat parkir Rp.2.000,­-.

Dibalik Spot Favorite Kalibiru

Spot yang diburu para travellers di Kalibiru pasti papan kayu yang dipasang diatas ketinggian yang luar biasa (dilihat dari photo-photo travellers) dengan background air waduk Sremo. Kalau dilihat dari picture-nya sih seolah-olah si traveler ini bener-bener di atas puncak salah satu pohon tertinggi di area itu. Sebelum kesana saya juga bayangin kalau untuk menaiki rumah pohon terbuka itu pasti butuh ratusan anak tangga kayu. Bener-bener tinggi gila. Karena memang background dibawah-nya langsung dataran rendah hutan area waduk Sremo. Lagi-lagi saya ingatkan pikiran itu datang kalau hanya lihat photo-nya lho ya. Tetapi tahu ga sih, kalau bayangan diatas tadi salah (paling ga ekspetasi saya). Setelah kesana,  ga ada yang namanya ratusan anak tangga, yang ada hanya 20-an anak tangga untuk mencapai papan kayu itu. Terus kenapa bisa kesan-nya seolah-olah tinggi begitu? Tentu saja bisa, karena memang wisata Kalibiru ini diatas perbukitan yang menghadap view waduk Sremo. Jadi sebenarnya pohon yang menjadi spot photo favorite itu ada di bibir jurang dari bukit Kalibiru. Untuk spot pengambil photonya ada di tanah bukit yang sedikit lebih tinggi lagi.

Spot Favorite Kalibiru
Well, it wasn’t like what I expected. But, I guarantee you. Kamu ga bakal kehilangan yang namanya fun. Yakin deh, adrenalin otomatis muncak pas ongkang-ongkang di atas pohon, apalagi pas angin lewat seliweran. Haha, beruntung banget kamu, copot copot dech tu jantung. Digoyang mang!! Pohon ke kanan kiri ditiup angin. Jangan lupan cobain yang bediri dipojok papan kayu, lepas kedua tangan, jatuhin badan ke arah jurang, biarin tali pengaman yang peganging badan kamu. Dan itu rasanya bener-bener Aaarrgggghhh. Banyak lho yang nyerah ga berani dan mending turun. Ada juga yang kaku badan-nya karena setengah hati nglepasin badan. Dan ga jarang para travellers tersebut cowok. Ops!!! Ya siap-siap saja diteriaki Huuuuuuu!!! Hehe.

Oh ya, kunjungan kali ini wahana flying fox sama hanging bridge nya pas tutup. Karena ada acara desa katanya. Sayang!

Lumayan deg-deg'an nich, mulut komat-kamit baca do'a
Pondok Penginapan Kalibiru

Di kawasan wisata alam Kalibiru disediakan beberapa pondok untuk menginap yang disewakan. Tetapi fasilitas yang disediakan hanya kamar mandi dan tikar saja. Untuk alas tidur yang nyaman, bantal, dan yang lain sebagainya silahkan bawa sendiri ya. Kata pengelola, biasanya pendok penginapan ramai kalau pas tahun baru.

Waduk Sremo

Kamu yang habis dari Kalibiru, sayang banget kalau kamu langsung balik gitu saja. Ga penasaran sama yang jadi background photo kamu? A.k.a waduk Sremo? Kamu yang habis dari Kalibiru bisa langsung ke waduk Sremo dengan cara turun lansung, yaitu ke arah kiri dari parkiran motor. Jalan-nya gampang ikuti jalan aspal saja. Sedikit turun nanti sudah ada penunjuk-nya. Yang saya suka dari waduk ini, ga ada sama sekali yang nama-nya tambak ikan. Jadi waduk terlihat bersih. Tapi sayangnya kapal-kapal yang disediakan untuk wisatawan hanya berlabuh diam di bibir beton waduk. Sepi tak berpenumpang. Dermaga waduk pun hanya didiami beberapa petugas. Entah karena bukan hari sabtu minggu (kami kesana hari jum’at) atau memang waduk Sremo sudah tak seramai masa jaya-nya dulu. Kenapa saya bisa bilang masa jayanya, terlihat dari banyaknya warung yang sudah tutup dan luasnya lahan parkir yang disediakan. Semoga wisata air waduk Sremo bisa dihidupkan kembali. Fingers crossed.

That’s it my exploration in Kalibiru Kulon Progo. Pesan untuk kali ini: Ayo keluar! Lihat dunia! Banyak kejutan disana!
   

1 Agustus 2014

Dam Simo, Goa Lowo, dan Umbul Beton

Kemarin, 31 Juli 2014, aku, adikku dan temanku explore tempat baru yang belum pernah kami kunjungi tentunya. Orang-orang bilang namanya Umbul Beton. Yang namanya umbul tentunya berhubungan dengan air. ‘Umbul’ berarti mata air atau sumber air. Kalo nama ‘beton’ sendiri, kemungkinan sih dari umbul-nya yang sekelilingnya dibangun beton-beton bersemen. Itu sih tafsiranku. Well, paling gak make sense lah. Temanku bilang kalau tempat ini masih alami belum di komersialkan. Wah, boleh juga dicoba. Aku pikir kalau masih alami dan belum banyak orang yang tahu, kemungkinan gak banyak orang yang datang. Maklum, kali ini kan musim liburan Lebaran Raya, semua bentuk wisata apapun pasti diserbu warga. Gak enak banget kan kalau niatnya pingin nikmatin suasana wisata tapi malah bete karena saking berjubelnya orang.

Kami berangkat dari rumah, Gondang Winangun Klaten, jam 10.30 ke Wonosari Gunung Kidul. Hanya berbekal info teman dari temanku dan penunjuk jalan. Lewatin Wedi, Bayat, Karangmojo dan akhirnya sampe ke tengah kota Wonosari sekitar jam 12.00. Kami berhenti untuk telfon temen dari temenku, tanya arah selanjutnya. Ehh ternyata, mas-nya mutusin untuk jemput kami dan antar kami ke Umbul Beton. Baiknya mas Daliphok ini, begitu nama yang dia ucapin waktu kenalan sama aku. Hmm, gak heran kalau aneh namanya, ternyata Daliphok adalah nama panggung. Salah satu komedian Jogja ternyata. Lelaki paruh baya yang bernama asli Yusuf ini, memang keliatan kalau selalu ceria. Tubuhnya yang gempal mengendarai honda astrea-nya yang cukup tua (sama tuanya dengan yang aku pakai, hehe) dan membonceng anak laki-lakinya, mereka menjadi tour guide lokal kami. Ramah, ceria, dan sederhana, bentuk local hospitality yang mungkin gak di dapat di kota-kota.  

Dari tengah kota Wonosari, ternyata kita balik lagi ke arah Karangmojo, lalu ke arah Semin, tepatnya ke kecamatan Ponjong. Lumayan jauh sih, ada sekitar 10 kilo, mungkin lebih (Grr, paling susah kalau disuruh estimate jarak, huft!). Berhubung dari Wonosari ke Ponjong lewat jalan alternatif, di pertigaan jalan utama, mas Daliphok berhenti sejenak dan nerangin ke kita, kalau nanti pas balik gak perlu repot-repot ke Wonosari lagi, tapi bisa langsung lewati jalan utama Ponjong ke perempatan Karangmojo terus ke arah Klaten dehh. Tambah lagi level kebaikan mas Daliphok-nya, cringgggg, haha. Luckily, kami punya mas Daliphok, benar saja sepanjang jalan gak ada yang namanya penunjuk bertuliskan Umbul Beton. Jadi yang gak ada tour guide rajin-rajin tanya local GPS ya a.k.a warga lokal. Itu senjata paling ampuh buat nemuin tempat tujuan.
Nyebrang Dam Simo

Dam Simo sisi kanan

Akhirnya sampai juga ke Umbul Betonya, Yipiiiiyyy. Yang pertama kali aku lihat memang air, dikelilingi perbukitan, masih lumayan alami, dan memang gak terlalu ramai, tapi kok semacam waduk kecil ya, atau semacan dam.  Umbul-nya mana?  Dam ini mungkin ya yang dinamakan umbul. Tapi kok jadi pengalihan makna gini. Ya sudah lah. Dam sebelah kanan dimanfaatkan warga yang hobi mancing buat nyalurin hobinya disini. Cukup nyaman sih tempatnya, sekililing dam di tanemin semacan pohon cemara. Jadi cukup rindang buat nongkrong mantengin ikan yang nyangkut di mata kail. Terus dam disebelah kiri dipakai buat wisata kapal kayuh dari bentuk angsa sampai hiu. Cuman Rp. 6.000,- untuk 2 orang 2 kali putar. Well, cukup lah buat megelin kaki karena ngayuh. Yang disayangkan disini, sebenerya ada life jacket yang disediain buat para wisatawan, tapi aku lihat gak ada satu wisatawan pun yang mau pakai. Sudah pada jago renang kali ya, yang belum bisa renang, kalau tenggelem bisa nanya ikan-ikan di dalam gimana cara renang, kalau perlu ambil short course sama itu ikan-ikan (kata mas Daliphok, haha).

Mas Daliphok juga kasih tau kami kalau yang menarik disini gak hanya wisata air nya. Dibalik bukit ada Goa Lowo alias Goa Kelelawar yang konon katanya ada air gemericik di dalamnya. Woaa, let’s explore!!! Tapi sayang mas Daliphok gak bisa gabung bareng kami. Dia cuman nganter dan balik pulang, gak lupa di suruh mampir ke rumahnya (naik satu tingkat lagi level kebaikanya, criingg). Setelah pamitan langsung deh kami lanjutin petualangan. Kalau pingin ke Goa Lowo harus nglewatin tengah dam itu. Sebenernya sih itu jalan yang dibangun ditengah waduk, tapi entah jalanya yang ambles atau air damnya mulai meninggi genangin jalan. Mau gak mau harus jalan kaki nyebrang nglewati air. Setelah titip motor di salah satu rumah warga tepat didepan dam, kami pun lepas alas kaki dan gulung celana jeans masing-masing  siap bertemput dengan air dan licinya bebatuan yang suppose to be jalan. Well, It was quite fun. Diliatin orang-orang  yang ada disitu (karena memang cuman kami bertiga yang aneh pakai acara nyebrang-nyebrang segala) yang mungkin dalam hati mereka berkata “Bocah-bocah kakean polah, arep podho ning endi kae”(“Anak-anak kurang kerjaan, mau kemana lah mereka itu”) Haha.

Tanaman kacang-kacangan di lembah
Setelah sebrangi dam, mendaki bukit, dan lewati lembah (kedengarannya lebay sih, tapi begitu adanya), akhirnya sampai juga ke Goa Lowo. Kira-kira jalan setengah kilo dari dam. Pemandangan di lembah-nya juga lumayan indah, lagi-lagi perbukitan mengelilingi lembah seolah abondaned garden yang terawat. Kenapa bilang begitu? Karena memang di lembah itu ditanami kacang-kacangan (gak tau namanya) berbunga  kuning terang, seolah seperti taman.

How small my brother was standing there.

Goa Lowo
Sampai juga ke goa. Mulut goa cukup besar, agak naik sedikit untuk mencapai mulut goa. Dan woaaaa, ternyata ruang goa di dalamnya lebih luas lagi. Ada tiga lobang besar di langit-langit goa, yang tentunya nambah nilai estetika goa (Eitss bahasaku, qiqi) karena memang cahaya matahari dari luar nembus ke dalam goa. Lagi-lagi ada yang disayangkan karena ulah manusia, di beberapa langit-langit goa, dinodai sama coretan-coretan mengatas-namakan kreatifitas yang tentunya salah tempat. ‘Budi loves Inem’ lah, nama-nama geng atau komunitas mereka lah, macam-macam. Itu minor sih, yang lebih parah ada lagi, goa dijadikan lahan tambang pospat, maklum goa memang dihuni banyak kelelawar yang kotoranya memang bisa menyuburkan tanah. Pertama kami bingung apa yang di tambang oleh mereka, karena memang kami gak melihat batu kapur, marmer atau sejenisnya. Ternyata setelah ngobrol dengan three old muskeeters nya desa tersebut a.k.a para sesepuh desa (setelah selesi explore dan sebelum kami beranjak pulang kami istirahat dirumah warga tempat kami parkir motor) goa tersebut memang diekploitasi tanah pospatnya dan gak jauh dari goa memang ada pabrik pengolahan pupuk. Semakin kami masuk semakin miris keadaan nya. Kontur tanah sudah gak karuan. Beberapa alat tambang manual dan beberapa bekas baju dan celana pekerja tambang mengotori goa. Air yang diceritakan mas Daliphok sudah keruh warnanya. Miris!

Satu sisi, memang pertambangan pospat di goa tersebut bisa menjadi mata pencaharian warga sekitar. Tapi disisi lain, alam tidak seharusnya dirusak dan diekploitasi besar-besaran seperti itu. Ini cuman pemikiranku sih, seandainya goa itu dijaga seperti aslinya, dikelola dengan baik, tidak cukup dengan baik saja tetapi juga harus dengan benar, dan di publikasi dengan tepat, apa yang akan warga dapat dari hasil tourism jauh lebih besar darpada eksploitasi pertambangan pospat. Apalagi tidak hanya Goa Lowo, tempat ini masih punya beberapa attraction yang lain, seperti dam untuk wisata airnya yang kami lewatin sebelumnya (nama dari dam ini ternyata Dam Simo, hasil ngobrol dengan tiga sesepuh desa), ada satu lagi, yaitu sumber mata airnya, ya tenyata memang ada yang namanya Umbul Beton disana, disisi pojok sebelak kiri dam. Tempatnya memang agak tersembunyi, kalau kami tidak ngobrol dengan the old three muskeeters mungkin kami juga ga tahu kalau itu yang namanya Umbul Beton.

Adikku cuci muka di Umbul Beton
Satu lagi, ternyata nama ‘beton’, bukan berarti bangunan beton yang ada di sekeliling umbul seperti yang kami kira dan prediksi sebelumnya. Nama beton berasal dari nama isi dari buah pohon Nangka (three old musketeers bilangnya pohon Kluwih, masih sodara sih sama Nangka) yang dulu banyak tumbuh disekitar umbul. Waktu kami kesana sih sudah tidak ada pohon-pohon tersebut. Untuk sampai ke umbul, kami harus lewatin warung yang dibangun di atas dam, terus susuri sisi kiri dam, sampai ke pojok dam. Airnya bener-bener bening and segar, tapi hati-hati kalau pingin nyebur buat ngrasain fresh-nya air umbul, mendingan pakai alas kakinya. Kami bertiga ouching nahan lancip dan tajam-nya bebatuan yang memang jadi karakter bebatuan padas di Gunung Kidul. Saking segernya air, kami gak keberatan tuh ngrasain extreme nature reflexology, hehe.

Well, that’s it our yesterday’s advanture. Keluar, nikamtin dunia, percaya deh alam selalu memberi kejutan-kejutan kecil tak terduga untuk kita. Cao!

19 Juli 2014

Candi Jawi, Harmoni Majapahit dan Singhasari

Tiga bulan sudah di Pandaan, Pasuruan, Jawa Timur. Yang sebelumnya cuman bisa ikut kamunitas hasher, nyambangi lereng-lereng gunung sekitar (Gunung Penanggungan, Arjuna, Ringgit, dan Welirang) bareng sama ayah dari temen disini. Dan akhirnya punya 'kaki' tambahan aka motor. Yipiiesss. Darah mbolangnya dah ga sabar buat ngelayap lagi. Aku awali petualang kali ini ke candi yang paling deket kost, Candi Jawi, atau di sanskrit-nya disebut Candi Jajawa.

Beberapa kali cuman nglewatin saja ini candi. Penisirin bingit sih, dan akhirnya minggu lalu kesana. Ini candi masih ada di daerah Pandaan, arah mau ke Prigen, Tretes, dipinggir jalan raya pas, kanan jalan, jadi ga susah nyarinya. Ditambah bentuk candinya yang menjulang, ini candi sebenernya bikin orang yang lewat ngelirik ke dia. Tapi ga tahu kenapa tiap lewat ini candi tergolong sepi. Lagi-lagi mungkin sinyal kalau orang-orang sudah ga pada care sama yang namanya sejarah negeri sendiri.

Minggu, sekitar jam 11 siang aku sampai. Ada sekitar satu keluarga dan dua pasang muda-mudi disana. Well not bad, paling ga masih ada beberapa orang yang penasaran dan pingin tahu sama yang namanya Candi Jawi, dan semoga bisa diceritain ke temen-temen atau saudara yang lain tentang ni Candi. Habis parkir, langsung cari ticket box atau semacamnya. Masuk main gate, langsung disapa sama kolam isi ikan-ikan emas yang bernaung dibawah teratai-teratai dari terik matahari. Kolam ini ternyata ngelilingi Candi Jawi-nya. Ada jembatan kecil buat nyebrang ke teras candinya. Sebaiknya sih baca dulu papan informasi mengenai ini Candi sebelum masuk buat liat-liat. Biar ga cuman bisa liat indahnya candi tapi juga tahu sejarah dan fungsi candi.

Pagar batu merah sebelah barat candi Candi Jawi
Ternyata Candi Jawi itu dibangun di perbatasan kerajaan Singasari dan Majapahit pada waktu itu. Kata mas-mas yang jaga waktu itu (aku lupa namanya, maaf mas, huhu). Makanya ada material batu bata merah untuk pondasi teras, kolam, dan pagarnya (bekas pagar bisa diliat direruntuhan dibelakang candi utama) yang menjadi ciri khas peninggalan kerajaan Majapahit. Kemudian ada material batu untuk Candi Jawi-nya sendiri dan tiga candi perwara yang sayangnya hanya pondasinya saja tersisa. Nah untuk material batu ini jadi ciri khas dari kerajaan Singhasari. 

Candi nya sediri dibuat dari dua jenis batu yang berbeda. Sebelumnya keseluruhan candi dibangun menggunakan batu hitam. Tetapi setahun setelah disambar petir pada tahun 1253 Saka, penbangunan kembali candi ini menggunakan batu putih untuk bagian yang rusak (lagi-lagi kata mas-nya dan di dukung dari tulisan di papan informasi). Di dinding bawah Candi Jawi ini berlukiskan relief-relief, tapi sayangnya tipis dan mulai terkikis. Dari informasi yang aku baca, sampai sekarang relief tersebut belum bisa dibaca cerita tentang apa karena saking tipisnya.

Candi Jawi 
Candi bernuansa Siwa-Buddha ini bukan untuk tempat pemujaan dewa, dilihat dari pintu candi yang menghadap ke timur, membelakangi gunung Welirang, nah biasanya candi untuk pemujaan menghadap ke gunung, yang dipercaya tempat bersemayam para dewa. Jadi, Candi Jawi di fungsikan untuk pendharmaan raja Kartanegara aka penyimpanan abu raja Kartanegara. Tapi fungsi sebagai tempat pemujaan malah digunakan di masa-masa ini. Waktu aku berkunjung, aku liat ada seorang laki-laki masuk berpakaian safari mengenakan peci hitam masuk ke candi utama bahkan melepas alas kakinya, menabur mawar di yoni dan menyalakan dupa. Saat aku tanya ternyata bapak itu mau sembahyang. Entah agamanya apa, mungkin kejawen. Benar saja, saat aku tanya ke officer-in-charge, memang tempat tersebut masih sering digunakan beberapa orang untuk pemujaan atau sembahyang, dari Bhuda, Hindu, sampai Kejawen. 

Yoni tanpa lingga di dalam Candi Jawi, bertabur mawar bekas persembahyangan.

Setelah selesai keliling candi dan bayangin begitu indahnya atmospher candi ini di masanya, toh pun masih sampai saat ini, aku ngobrol-ngobrol sebentar sama the-officer-in duty. Setelah isi buku tamu dan bayar tiket masuk yang ga di tentukan besaranya, sukarela saja, (pas masuk mas-nya ga ada jadi bayarnya belakangan), tanya-tanya soal candi Jawi sebentar terus tanya candi lain disekitar yang bisa dikunjungi lagi. Masnya bilang ada Candi Jolotundo yang fungsinya sebagai pemandian di daerah perbukitan Trawas. Hmmm, it sounds great, bayangin water of life di masa itu, ga sabarrrr, so let's go!

13 Juni 2014

New Family, New Home, New Friends

It's been a couple of months I moved to East Java for my new path of life after graduated, working in Pandaan, Pasuruan, far from home. I feel that I'm very blessed for having such easy life here. A week staying in friends' house for first shelter, he and his wife are really good hosts. His parents even treat me like I'm their own child. They facilitated me with everything I need as I was a newcomer.

Then finally got a comfy boarding house for living by my own. It's really in the middle of nowhere, but it is with alluring views, three mountains in one line, Mount Arjuna, Mount Ringgit, and Mount Linting. It is embellished with green and yellow paddy fields and blue sky in the daylight. Meanwhile, when the sun has set down, it is shifted to twinkling of lights of houses and hotels in the slopes named Bukit Tretes.

Taken from balcony of boarding house
Talking about friends, well they are super friendly and helpful. As a new staff, I have no difficulties in adapting myself with them. I guess it's because they're truly good people. Taking me to look around the city, sending me off to boarding house, and picking me up in early morning to office.

What a easy life, isn't it?

But when the time comes, a time that one single thing lets me deep down. And the thoughts come telling me that I could not take it. I think I would not continue it. I would give up.

Wait a minute!!! That ain't right. Have I forgotten that I have those above stuff supporting me. New family, new home, and new friends. "Wake up!" I'm telling to myself. Yes, I have them here. No reason to flap a white flag. Live my new life.

And one more thing. I remember for whom I have taken this far. Mom and Dad. :)

12 Januari 2014

Lebih Terhormat Ga Dapat Kursi

Masih ada kaitanya dengan bus dan liburan tahun baru dari artikel sebelumnya, artikel ini juga masih tentang perilaku orang-orang di kota-ku. Yang mungkin gambaran dari sebagian besar orang-orang di negeri tercinta ini. Pulang kerumah, Klaten, setelah mengantar teman dari bandara Adisucipto Jogja, masih ingat? Tentunya masih dengan bus antar kota yang semestinya sudah dipensiunkan. Tentunya juga masih dengan penumpang-penumpang yang berjubel didalamnya. Panas, bau keringat, asap rokok, dan jalanan ‘harta karun’. Kenapa jalan ‘harta karun’? Bukan karena banyak emas disana , tapi ratusan lubang nya saja, ya, lubang-lubang ini seperti bekas galian para pencari harta karun yang ga ditimbun lagi. Yang pernah lewat kota Klaten pasti tahu lah seperti apa. Jadi bisa bayangin kan kalau ga dapat kursi kaya apa? Dan kebetulan sekali, bus yang waktu itu aku naikin, aku raba-raba atasnya buat cari pegangannya, tapi? Tet Tot!! Raib!! Ga ada pegangan!! Lalu dimana hak-ku sebagai penumpang yang berdiri agar tidak jatuh? Terpaksa harus pegangan sandaran kursi dikanan dan dikiri dan jeli-jeliin mata agar ga salah pegang kepala orang.

Masih ingat juga kan kalau luckily aku dapat kursi disamping two lovers yang buang sampah sembarangan di artikel sebelumnya? Ya tapi cuman bentar saja. Kenapa? Karena sesaat setelah kasus sarkasme dengan lovers itu, aku lihat seorang ibu menggandeng dua gadis kecilnya naik bus dengan susah payah. Menjaga keseimbangan dirinya sendiri dan dua gadis kecilnya, berjalan ketengah berdesak-desakan diantara penumpang lain yang berdiri, tengak-tengok, mungkin berharap ada kursi kosong. ‘Ya ga bakal ada bu’ batinku. Kebetulan aku duduk di bagian tepi bukan dekat jendela. Tanpa pikir panjang aku persilahkan dia duduk di kursi-ku. Wahhh, sik matur nuwun jiannnnn, melebihi dapet lotre si ibu itu. Aku balas senyum dan bilang ‘sama-sama bu’. Sayangnya si buah hati yang satunya ga bisa duduk, kursi hanya satu, ibu itu cukup berisi badannya, jadi hanya muat dia dan satu gadis kecilnya yang dipangku. Susah payah anak itu pegangan kuat-kuat sandaran kursi dan dibantu tangan ibunya. Two lovers yang disampingku tadi, penumpang di depan dan di belakang nya, mereka cukup muda, tapi, sama sekali ga ada yang ngasih kursi mereka. Shockingly, aku liat ternyata di bus bagian belakang, ada embah yang cukup renta dengan pakaian kebaya jowo kuthu baru dan jarik-nya yang juga berdiri diantara anak-anak muda yang duduk dengan santainya, beberapa dari mereka dengan enaknya sambil klepas-klepus merokok. Oh my Gosh!!!! Negeriku!

Banyak yang lihat aku dan ibu itu waktu aku ngasih kursi-ku. Mungkin mereka pikir bodoh sekali aku ini sudah enak-enak dapat kursi malah sok-sokan ngasih kursi-nya ke orang lain. Atau mungkin juga mereka pikir mereka sudah bayar, dapat kursi, ya kursi mereka. Kalau ngomongin soal hak, memang semua penumpang bayar, dan semua punya hak untuk dapat kursi. Tapi lihat keadaan. Buat aku, ibu dan embah itu punya hak lebih untuk dapat kursi dibanding aku, dan aku pantasnya memang berdiri. Begini saja! Bayangkan kita yang ada diposisi ibu dan embah itu, atau kalau ga, bayangkan mereka itu ibu atau nenek kita. Yang dibutuhkan adalah respect.

Lagi-lagi masalah attitude. Lagi-lagi soal kesadaran. Lagi-lagi diperlukan edukasi.

8 Januari 2014

Sampah! Pernah Sekolah?

Sore itu, sehabis mengantar beberapa teman di bandara Jogja untuk balik ke Jambi dan negeri Merlion, aku pulang ke rumah, Klaten. Aku putuskan untuk naik public transportation saja, karena aku pikir sayang ongkosnya kalau pakai taksi lagi kalau cuman sendiri. Jarang memang, karena biasanya aku naik motor kesehariannya. Dari bandara naik bus Trans Jogja turun di depan pasar Prambanan. Bus Rapid Transit ber-AC yang di-launched tahun 2008 ini (kalau tidah salah), kondisinya sudah ga begitu baik lagi. Masih sih ber-AC tapi ko ga dingin ya dan beberapa kursi tampak sudah rusak. Hmm, semoga cepat di-regenerasi ya.

Turun dari bus Trans Jogja, aku harus naik bus jurusan Jogja-Solo. Bus antar kota. Dari aku kecil sih belum pernah lihat bus ini cantik. Kalaupun ada luarnya lumayan, dalemnya ataupun mesinya menyedihkan, kreot! kreot! kreot! Hmm sedih memang. Setelah nunggu berdiri beberapa menit, ada salah satu dari gerombolan pengamen muda bilang, "Mbak, duduk aja dulu, masih lama ko datengnya." Aku senyumin dan bilang "oh iya" dan ga lupa terima kasih. Hmm, masih banyak orang baik ternyata, gumamku. Akhirnya bus datang. Keliatan dari jauh beberapa bagian cat bus-nya mengelupas, ternyata belum berubah! Bus mendekat, dan wowwww, aku liat di dalam bus sudah penuh sesak, desak-desakan berdiri. Maklum musim liburan Natal dan Tahun Baru-an. Tapi bus masih saja berhenti, kernet bus teriak, "Naik mas, mbak! Masih muat! Masih muat!" Gila tu kernet, mau bikin kita-kita jadi pepes di dalam? Dan hebatnya lagi, masih aja ada beberapa calon penumpang naik itu bus. Kalau aku, no way! Give up dech. Mending nunggu bus lainnya. Bus pun berlalu pelan dengan suara mesin-nya yang berat, kepenuhan!

Tiga bus selanjutnya, masih dengan kondisi yang sama. Dan akhirnya bus yang kelima, agak mendingan. Aku liat ada space di antara para penumpang yang berdiri. Jeeyyyy!!! Gapapa lah berdiri, yang penting ga kegencet-gencet. Selang beberapa menit, penumpang yang duduk disebelahku turun, nasib baik dapat kursi. Dua penumpang disebelahku cowok dan cewek. Ga bermaksud nguping, kayaknya si cowok ini habis ngajak ceweknya jalan-jalan dari Jogja. Pegangan tangan teros. Welah, so sweet!

Sesaat, ada penjual permen, mereka beli, akupun juga. Aku lihat si cowok buka bungkusan permenya buat si cewek. Wahh, aku masih salut tuh. Tapi kok, Werr! Werrr! Dengan santainya dia buang bekas bungkusan permen sembarangan di lantai bus. Ihhh, mulai dech 'ilfil'-nya. Aku berdehem, sengaja biar mereka notice. Aku buka bungkusan permenku dan sengaja agak aku angkat tinggi-tinggi. Aku makan permenya. Aku berdehem lagi aku taruh bekas bungkusan permen ke dalan tas-ku. Mereka sih kayaknya lihat. Si cowok buka lagi satu bungkus permenya, kayaknya sih buat dia sendiri. Berharap dia ga buang bungkus-nya sembarangan lagi. Tapi!!! Werrr! Weerrr! Huhuhu kok masih aja.

Geram rasanya. Akhirnya jurus kedua aku luncurkan. Aku tanya ke dia,
Aku: "Hmmm, ceweknya ya mas? Cantik. Habis jalan-jalan ya?"
Dia: "Iya mbak. Muter-muter Jogja tadi."
Aku: "Oww, mas-nya SEKOLAH?"
Dia: "Engga mbak, udah kerja."
Aku: "Owwwwww, GA SEKOLAH? PANTESAN BUANG SAMPAH SEMBARANGAN!"
Dia: (Diam seribu bahasa sambil ceweknya cubit-cubit ke dia).

Iya sih cuman bungkus permen, kecil, ga seberapa dibanding sampah-sampah lain. Bukan gede kecilnya sampah. Sampah ya sampah! Attitude salah harus dirubah. Sekecil apapun itu. Kalau engga kapan berubahnya ini negeri. Ingat sekali kata-kata teman-teman ku yang asalnya dari negara tentangga yang terkenal super bersih itu.

Bukanya perubahan itu dimulai dari hal-hal kecil?  Kapan berubah negeri ini?